Berawal dari Kehidupan

Berisi tentang Biografi Tokoh, Motivasi, Pendidikan, Wisata

Gua Cerme Keajaiban di Perut Bumi

Sponsored Link
Suatu siang di akhir Desember tahun lalu, angin sejuk bertiup di antara pepohonan tinggi, di sekitar mulut Gua Cerme. Suasananya terasa teduh dan asri. Berita Indonesia dan teman-teman dari Yayasan Acintyacunyata, Yogyakarta, baru saja tiba di lokasi gua yang hari itu akan kami telusuri.

Gua Cerme terletak di dusun Srunggo, desa Selopamioro, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, tepatnya sekitar 22 km dari kota Yogya. Perjalanan menuju lokasi bisa ditempuh dengan kendaraan bermotor roda dua maupun roda empat. Jalanannya beraspal halus dengan beberapa kelokan dan tanjakan.

Setelah meninggalkan kendaraan di tempat parkir yang tersedia, kami berganti pakaian dengan coverall, helm speleo yang dilengkapi headlamp dan sepatu boot karet di tempat guide lokal yang biasa menjadi basecamp penelusur gua (caver) ASC (Acintyacunyata Speleological Club). Untuk masuk ke dalam gua tersebut ada dua entrance (pintu masuk) yang bisa dilalui pengunjung, yakni Luweng Ploso di desa Giritirto, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul dan pintu masuk Gua Cerme sendiri. Kedua entrance tersebut terhubung satu sama lain.

Stalagmit Gua Cerme
Kami memilih masuk melalui Luweng Ploso, agar tidak berbaur dengan wisatawan umum yang biasanya masuk dari mulut Gua Cerme. Meski secara administratif berbeda kabupaten, sesungguhnya letaknya tidaklah jauh. Kami berjalan kaki menuju entrance tersebut dengan mendaki tebing dan melalui ladang-ladang penduduk.Tampak sebuah papan penanda proyek Sistem Pompa Air Fotovoltaik dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), lengkap dengan sebuah bangunan penampungan air yang dialirkan dari gua untuk penduduk sekitar jika musim kemarau tiba. Dengan menuruni sejumlah anak tangga dari semen dengan susuran besi, kami menuju ke mulut gua.

Gua ini memiliki panjang total 1.300 meter. Lorong utama dari gua Cerme tembus ke Luweng Ploso sepanjang 950 meter, selebihnya ada beberapa percabangan, yakni di Gua Pandu, di bawah air terjun Grojogan Sewu, dan lorong buntu Air Suci.Dengan adanya aliran sungai di sepanjang gua, kami harus rela berbasah-basahan terendam air. Tak ada bagian yang berupa tanah lembab sekalipun, kecuali tebing gelap di kedua sisi gua.

Air Bening di Gua Cerme
Kedalaman air memang tak terlalu dalam, hanya sekitar 10 cm sampai 1 meter. Namun di beberapa tempat, atap gua begitu rendah dan dekat dengan permukaan air, sehingga kami bahkan harus setengah merangkak untuk melewatinya. Namun meski medannya cukup menantang, penduduk setempat sejak dulu sering memasukinya hingga tembus ke entrance satunya. Sehingga bisa dibilang, gua ini cukup aman bagi pemula yang berniat menelusur gua (caving).

Air dan Ornamen

Menurut Bagus Yulianto, salah seorang caver dari Yayasan Acintyacunyata yang memandu kami, Gua Cerme dikenal sebagai gua wisata sejak tahun 1980-an. Dari tingkat kesulitannya, gua ini ada pada grade 2-3, artinya penelusur memerlukan peralatan khusus seperti helm dan sumber cahaya.Awalnya gua ini hanya digunakan sebagai sumber air yang dimanfaatkan oleh penduduk di sekitar lokasi. Resurgen atau mata air keluar dari dasar Luweng Ploso dengan debit pada musim kemarau sekitar 3 liter per detik dan pada musim hujan bisa mencapai 25 liter per detik.Sungai bawah tanah di dalam gua tidak berpotensi banjir pada musim hujan sekalipun. Penyebabnya adalah kemiringan lantai gua, sehingga air mengalir dengan cepat. Selain itu ada bendungan di mulut Gua Cerme yang menjadi pengatur ketinggian muka air. Biasanya pada musim hujan pintu bendungan dibuka sehingga muka air tidak melebihi tinggi satu meter.

Gua Cerme
Air yang keluar dari mulut Gua Cerme dimanfaatkan oleh penduduk di dusun Srunggo dengan cara ditampung pada sebuah kolam besar untuk diendapkan, setelah itu dialirkan ke rumah penduduk menggunakan selang air. Sementara itu, air dari Luweng Ploso diambil menggunakan pompa air benam (submersible pump) dengan memanfaatkan tenaga matahari (solar cell).  Teknologinya dibantu BPPT dan dinamakan Sistem Pompa Air Fotovoltaik. Pompa air ini telah beroperasi kurang lebih 10 tahun dan relatif tidak pernah bermasalah. Namun demikian, instalasi ini hanya difungsikan pada saat musim kemarau. Pada musim hujan instalasi tersebut diistirahatkan untuk menghemat biaya perawatan.Di salah satu bagian dalam gua, kami menjumpai ribuan kelelawar pemakan buah yang bergelantungan di langit-langit gua. Aroma tak sedap dari kotoran kelelawar (guano) cukup menyesakkan pernapasan. Namun hanya di bagian itu saja indera penciuman kami terganggu. Selebihnya udara di dalam gua cukup baik dan tidak pengap. Di Gua Cerme juga biasanya dapat dijumpai jangkrik gua, udang, dan ikan lele. Sebagian biota ini sudah mengalami adaptasi negatif yaitu kehilangan pigmen, sehingga warnanya menjadi transparan.

Kami juga menjumpai berbagai macam ornamen gua yang cukup lengkap. Seperti dijelaskan Bagus kepada Berita Indonesia, ornamen-ornamen yang kami jumpai tersebut dibedakan dari proses terbentuknya antara lain dripstone, yang terbentuk karena proses tetesan air. Jenisnya adalah stalaktit, stalakmit, pilar (column), sodastraw stalagtit, dan helektit.
Selain itu ada flow stone, yang terbentuk karena proses aliran air. Jenisnya drapery (berbentuk tirai), shield (berbentuk perisai), canopy (berbentuk kubah). Yang ketiga adalah rimstone, terbentuk akibat adanya hambatan pada aliran air. Jenisnya micro gours (mirip petakan sawah, terdapat pada shield dan canopy) dan gourdam (mirip tanggul atau petakan sawah yang besar).

Kisah Para Wali

Dengan banyaknya persimpangan dan lorong yang dapat menyesatkan, para pengunjung sebaiknya ditemani oleh seorang penunjuk jalan yang mengenal lokasi. Helm speleo dan senter juga wajib
bagi para pengunjung. Sayangnya, masih ada wisatawan yang tidak memakai helm. Padahal selalu ada kemungkinan kepala terbentur stalaktit atau langit-langit gua yang rendah.

Ternyata, selain disuguhi pemandangan stalaktit dan stalakmit yang indah di perut bumi, gua ini konon menyimpan kisah tentang Walisongo. Nama ‘Cerme’ berasal dari kata ‘ceramah’. Konon, gua ini merupakan tempat pertemuan para wali di Tanah Jawa untuk menyebarkan agama Islam. Sejak ditemukan, gua itu kemudian digunakan sebagai tempat tafakur dan musyawarah menyusun strategi dakwah.
Di sebelah kanan dan kiri mulut Gua Cerme, ada beberapa gua lain yang sering dipakai untuk bertapa. Pertama adalah Gua Umum, gua ini dapat digunakan untuk bertapa siapa pun. Kemudian terdapat Gua Dalang yang biasanya digunakan oleh para dalang agar tercapai cita-citanya. Gua Sinden, mirip dengan Gua Dalang, digunakan oleh para pesinden atau waranggana untuk memajukan karier. Keempat adalah Gua Kaum yang biasa digunakan oleh mereka yang ingin menjadi tokoh agama (kaum). Di tempat inilah konon para Walisongo bertemu untuk membicarakan syiar agama Islam. Dan Gua Maling merupakan salah satu gua yang sangat terkenal karena dulunya sering digunakan oleh pencuri untuk bersembunyi. Letaknya tersembunyi dan harus memanjat tebing.

Untuk menelusuri gua Cerme dibutuhkan waktu yang bervariasi. Untuk penelusuran normal, wisatawan biasanya membutuhkan waktu satu setengah sampai dua jam. Sementara untuk aktivitas
dokumentasi biasanya lebih lama, antara 3-5 jam. Rombongan kami sendiri menghabiskan waktu lebih dari tiga jam sampai menembus ke entrance mulut Gua Cerme.

Di permukaan bumi, ternyata hujan tengah mengguyur deras. Kami berlari ke basecamp meninggalkan gua yang penuh ornamen indah sebagai bukti keajaiban alam itu. Tak ada yang tertinggal di sana selain kesan dan kekaguman. Seperti prinsip yang selalu dijunjung tinggi para penelusur gua: ‘take nothing but picture, leave nothing but footprint, kill nothing but
time’. RH (BI 54)

Terima Kasih telah membaca Gua Cerme Keajaiban di Perut Bumi di blog sederhana dan kesayangan anda semua Berawal Dari Kehidupan Rating 5.0
  1. Mas Bagus Yth. Hanya menambah/sekaligus ralat ya Goa Cerme menjadi obyek wisata itu sudah luama sekali bukan baru tahun 1980 an. Ketika aku SR Kelas V ( Tahun 1965 an ) sudah pernah ke sana dan ternyata sesampai di sana ternyata sudah banyak dari sekolah yang lain berada di sana, terus th. 1967 ( saya SMP ) kembali sekolah saya mengadakan kegiatan wisata di sana. Tahun 1971 kami berlima ( dengan teman-teman SPG )juga ke sana lagi.Hanya bedanya sebelum tahun 1980 an belum ada jalur kendaraan bisa sampai dusun Srunggo. Jadi dari Pasar Siluk sampai goa jalan kaki.Selain jalur siluk ada jalur Nangsri -goa Cerme juga jalan kaki ( belum ada jalur kendaraan ) Namun jika liburan sekolah pasti goa cerme merupakan tujuan liburan selain pantai Parangtritis dan goa Selarong di Pajangan.

    BalasHapus