Mungkin tidak pernah terlintas dipikiran seorang I Gede Subawa untuk dapat menempati posisi strategis sebagai direktur perusahaan asuransi kesehatan. Lahir di Tabanan, Bali, dari keluarga petani, I Gede mempunyai cita-cita untuk membela negara, dan masuk ke sekolah AKABRI. Namun, keinginannya masuk sekolah AKABRI mendapatkan hambatan dari orangtuanya.
"Orangtua saya kan petani, saya sadar betul kalau kuliah ke Fakultas Kedokteran itu pasti mahal. Jadi saya pilih masuk ke AKABRI, karena AKABRI dibiayai oleh negara, tapi tidak boleh sama orangtua," kata dia, kala berbincang dengan Okezone beberapa waktu lalu.
Anak pertama dari enam bersaudara ini akhirnya serius menjalani kuliahnya di Fakultas Kedokteran sesuai keinginan orangtuanya. Selain karena dorongan orangtua, pengalaman masa kecilnya juga memantapkan langkahnya di dunia kesehatan. Ini terjadi karena saat masih kecil, I Gede pernah menderita penyakit disentri akibat hobinya jajan makanan di pinggir jalan.
Saat itu, orangtuanya kewalahan memeriksakan anaknya ke klinik terdekat karena disentri yang cukup hebat, mengingat dokter yang membuka praktek di daerah Tabanan sangat minim, hanya satu dokter yang membuka praktek.
I Gede masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) kelas 2 cukup takut saat diperiksa oleh doktor. Bahkan, karena terlalu takut dia sampai melarikan diri. Bukan karena ketakutannya akan dokter yang membuat dia lari, namun lebih kepada perlatan yang digunakan oleh si dokter. "waktu itu saya lari karena melihat suntikan sebesar itu ga kebayang sakitnya seperti apa," tutur I Gede sambil tertawa.
Namun, peristiwa tersebut malah membawa dampak positif. Sejak saat itu, karena takut akan dibawa ke dokter, dia enggan untuk jajan sembarangan di pinggir jalan lagi.
Kisah Mobil Putih
Selain kisah jajanan di pinggir jalan dan jarum suntik, I Gede mengungkapkan masih ada alasan lain yang mendorongnya menjadi seorang dokter. Bukan karena kejadian tidak menyenangkna, namun karena dia melihat mobil sedan putih yang terparkir di halaman seorang dokter, di daerah Tabanan. "waktu itu saya tihat mobil sedan putih milik dokter kok sepertinya keren sekali, saya ingin seperti dokter itu," kata dia.
Oleh karena itu, meskipun berasal dari keluarga seorang petani, yang memiliki kemampuan ekonomi pas-pasan, namun I Gede tetap masuk ke kedokteran. Hal tersebut, lantaran usaha keras kedua orangtua I Gede. Upaya ini, mampu mendorong I Gede masuk fakultas Kedokteran Universitas Udayana Bali.
"Dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan saya menjalani kuliah di Fakultas Kedokteran. Saya masuk 1971 dengan biaya seadanya, keinginan orangtua yang keras dan saya berusaha menjalaninya dengan sungguh-sungguh, karena kuliah di Fakultas Kedokteran itu tidak murah," jelas dia.
Untuk tetap menjaga agar pendidikannya berjalan, dia rela pulang-pergi menggunakan sepeda dari tempat kuliahnya di Udayana, Denpasar, ke tempat tinggalnya di Tabanan. Bukan jarak yang dekat, karena sehari dia harus menempuh perjalanan kurang lebih 60 kilometer, untuk sekedar membawa bekalnya seperti beras dan bahan pokok lainnya. "setiap hari jumat pasti saya pulang ke rumah untuk membawa bekal, bersama teman-teman yang bertempat tinggal di Tabanan beramai-ramai naik sepeda," kenang I Gede.
Untungnya, pihak unversitas tidak terlalu membebankan dia dengan biaya kuliah yang terlalu tinggi. Bahkan pihak Universitas tetap mengizinkannya mengikuti kegiatan kuliah, ketika dia belum membayar uang semester. Usahanya tidak sia-sia, setelah menjalai lima tahun perkuliahan, dia berhasil menyabet gelar predikat mahasiswa terbaik dari 24 orang teman satu angkatannya pada 1978.
"Sebenarnya saya lulus 1977, namun karena menunggu teman-teman untuk menjalani pelantikan yang berbarengan, sehingga saya dicatat lulus tahun 1978," tutur pria lulusan SMA Tabanan Bali tahun 1970 ini.
Awal Karir
Setelah lulus dari Udayana, penyuka lagu-lagu Broery Marantika tersebut langsung menjadi dokter, dan mengabdikan diri di puskesmas di Nusa Tenggara Timur, di salah satu kecamatan yang jauh dari pusat kota, berbatasan dengan Timor-timur, selama 2 tahun sejak 1978 hingga 1980.
Lalu tahun 1980 sampai tahun 1983 I Gede dipilih oleh Bupati Atambua menjadi Direktur rumah sakit di Atambua yang memiliki sekira sembilan tempat tidur pasien. Di rumah sakit itu, hanya dia yang menjadi dokter di poliklinik yang siaga selama 24 jam, dan itu dijalaninya selama tiga tahun. Setelah itu, dia dipindahkan ke Flores Timur di Dinas Kesehatan.
Di sana, I Gede menjabat sebagai kepala kantor perwakilan cabang di Ende NTT dan wilayah Manggarai selama lima tahun, kemudian pada 1988, I Gede dipromosikan sebagai Kepala kantor Cabang di Bali selama dua tahun hingga 1990.
Guna menunjang keperluan pekerjaannya, I Gede kembali mengambil kuliah di Universitas Gajahmada (UGM) pada 1996, dan mengambil jurusan Manajemen Rumah Sakit. Karena prestasinya tersebut, dia dipilih menjadi Kepala Kantor Cabang Jawa Tengah.
Bekerja menjadi kepala kantor cabang membuat I Gede harus meninggalkan statusnya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) golongan 4B pada 1996. Baru pada tahun 2000 I Gede dipercaya sebagai Direktur Operasional PT Askes, "saya tidak menyangka perjalanan karir ini menjadi Kepala Kantor Cabang lalu diangkat sebagai Direktur Operasional," tutur I Gede.
Pindah ke salah satu perusahaan pelat merah tidak lantas membuat I Gede dapat santai. Menurutnya, Askes selalu di nomor duakan karena pelayanannya yang belum memadai, sehingga menjadi tantangan besar dirinya untuk mengubah citra Askes di mata masyarakat. "saat itu kami di lapangan selalu dihadapkan dengan situasi tidak nyaman," tutur I Gede.
Dia mengungkapkan, keraguan masyarakat untuk mengikuti Askes, juga didasar atas belum adanya kerjasama askes dengan rumah sakit swasta. Oleh karena itu, dia membuat perubahan dengan cara bekerjasama dengan rumah sakit swasta. Hingga kini, askes lebih bekerjasama dengan 250 rumah sakit swasta di seluruh Indonesia.
"Saya yakin kedepan akan sangat banyak sekali membutuhkan rumah sakit swasta dengan perlakuan yang sama terhadap peserta pengguna Askes," tutur I Gede.
I Gede memaparkan, melayani orang sakit memang harus lebih hati-hati karena lebih sulit ketimbang melayani orang-orang yang datang ke bank, maupun ke hotel. Karena, orang sakit memiliki ketidakstabilan mental psikologis antara bisa di sembuhkan atau tidak yang juga selalu terbentur dengan permasalahan biaya. Namun, semua itu terbayarkan, karena masyarakat yang tertolong banyak yang berterimakasih.
Dia menambahkan, PT Askes merupakan perusahaan yang utamanya bukan mencari untung, mengingat tugas pokoknya adalah memberikan pelayanan yang baik kepada pesertanya. "saya akan mengerjakan pekerjaan sebaik mungkin, sesuai amanat dari kitab suci yang saya pegang. karir ini saya jalankan dengan cara yang terbaik," jelas dia.
Hingga kini, Askes telah memproduksi lebih dari 1.600 jenis obat yang telah di negosiasikan dengan pabrikan obat sehingga para peserta Askes bisa membeli obat dengan harga murah. Selain itu, Dia juga mengaku telah mencapai cita-citanya yakni memiliki mobil sedan berwarna putih yang di lihatnya semasa kecil di halaman rumah dokter yang tidak jauh dari rumahnya.
Terima Kasih telah membaca Direktur Askes | Kisah Sukses Anak Petani di blog sederhana dan kesayangan anda semua Berawal Dari Kehidupan Rating
"Orangtua saya kan petani, saya sadar betul kalau kuliah ke Fakultas Kedokteran itu pasti mahal. Jadi saya pilih masuk ke AKABRI, karena AKABRI dibiayai oleh negara, tapi tidak boleh sama orangtua," kata dia, kala berbincang dengan Okezone beberapa waktu lalu.
Anak pertama dari enam bersaudara ini akhirnya serius menjalani kuliahnya di Fakultas Kedokteran sesuai keinginan orangtuanya. Selain karena dorongan orangtua, pengalaman masa kecilnya juga memantapkan langkahnya di dunia kesehatan. Ini terjadi karena saat masih kecil, I Gede pernah menderita penyakit disentri akibat hobinya jajan makanan di pinggir jalan.
Saat itu, orangtuanya kewalahan memeriksakan anaknya ke klinik terdekat karena disentri yang cukup hebat, mengingat dokter yang membuka praktek di daerah Tabanan sangat minim, hanya satu dokter yang membuka praktek.
I Gede masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) kelas 2 cukup takut saat diperiksa oleh doktor. Bahkan, karena terlalu takut dia sampai melarikan diri. Bukan karena ketakutannya akan dokter yang membuat dia lari, namun lebih kepada perlatan yang digunakan oleh si dokter. "waktu itu saya lari karena melihat suntikan sebesar itu ga kebayang sakitnya seperti apa," tutur I Gede sambil tertawa.
Namun, peristiwa tersebut malah membawa dampak positif. Sejak saat itu, karena takut akan dibawa ke dokter, dia enggan untuk jajan sembarangan di pinggir jalan lagi.
Kisah Mobil Putih
Selain kisah jajanan di pinggir jalan dan jarum suntik, I Gede mengungkapkan masih ada alasan lain yang mendorongnya menjadi seorang dokter. Bukan karena kejadian tidak menyenangkna, namun karena dia melihat mobil sedan putih yang terparkir di halaman seorang dokter, di daerah Tabanan. "waktu itu saya tihat mobil sedan putih milik dokter kok sepertinya keren sekali, saya ingin seperti dokter itu," kata dia.
Oleh karena itu, meskipun berasal dari keluarga seorang petani, yang memiliki kemampuan ekonomi pas-pasan, namun I Gede tetap masuk ke kedokteran. Hal tersebut, lantaran usaha keras kedua orangtua I Gede. Upaya ini, mampu mendorong I Gede masuk fakultas Kedokteran Universitas Udayana Bali.
"Dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan saya menjalani kuliah di Fakultas Kedokteran. Saya masuk 1971 dengan biaya seadanya, keinginan orangtua yang keras dan saya berusaha menjalaninya dengan sungguh-sungguh, karena kuliah di Fakultas Kedokteran itu tidak murah," jelas dia.
Untuk tetap menjaga agar pendidikannya berjalan, dia rela pulang-pergi menggunakan sepeda dari tempat kuliahnya di Udayana, Denpasar, ke tempat tinggalnya di Tabanan. Bukan jarak yang dekat, karena sehari dia harus menempuh perjalanan kurang lebih 60 kilometer, untuk sekedar membawa bekalnya seperti beras dan bahan pokok lainnya. "setiap hari jumat pasti saya pulang ke rumah untuk membawa bekal, bersama teman-teman yang bertempat tinggal di Tabanan beramai-ramai naik sepeda," kenang I Gede.
Untungnya, pihak unversitas tidak terlalu membebankan dia dengan biaya kuliah yang terlalu tinggi. Bahkan pihak Universitas tetap mengizinkannya mengikuti kegiatan kuliah, ketika dia belum membayar uang semester. Usahanya tidak sia-sia, setelah menjalai lima tahun perkuliahan, dia berhasil menyabet gelar predikat mahasiswa terbaik dari 24 orang teman satu angkatannya pada 1978.
"Sebenarnya saya lulus 1977, namun karena menunggu teman-teman untuk menjalani pelantikan yang berbarengan, sehingga saya dicatat lulus tahun 1978," tutur pria lulusan SMA Tabanan Bali tahun 1970 ini.
Awal Karir
Setelah lulus dari Udayana, penyuka lagu-lagu Broery Marantika tersebut langsung menjadi dokter, dan mengabdikan diri di puskesmas di Nusa Tenggara Timur, di salah satu kecamatan yang jauh dari pusat kota, berbatasan dengan Timor-timur, selama 2 tahun sejak 1978 hingga 1980.
Lalu tahun 1980 sampai tahun 1983 I Gede dipilih oleh Bupati Atambua menjadi Direktur rumah sakit di Atambua yang memiliki sekira sembilan tempat tidur pasien. Di rumah sakit itu, hanya dia yang menjadi dokter di poliklinik yang siaga selama 24 jam, dan itu dijalaninya selama tiga tahun. Setelah itu, dia dipindahkan ke Flores Timur di Dinas Kesehatan.
Di sana, I Gede menjabat sebagai kepala kantor perwakilan cabang di Ende NTT dan wilayah Manggarai selama lima tahun, kemudian pada 1988, I Gede dipromosikan sebagai Kepala kantor Cabang di Bali selama dua tahun hingga 1990.
Guna menunjang keperluan pekerjaannya, I Gede kembali mengambil kuliah di Universitas Gajahmada (UGM) pada 1996, dan mengambil jurusan Manajemen Rumah Sakit. Karena prestasinya tersebut, dia dipilih menjadi Kepala Kantor Cabang Jawa Tengah.
Bekerja menjadi kepala kantor cabang membuat I Gede harus meninggalkan statusnya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) golongan 4B pada 1996. Baru pada tahun 2000 I Gede dipercaya sebagai Direktur Operasional PT Askes, "saya tidak menyangka perjalanan karir ini menjadi Kepala Kantor Cabang lalu diangkat sebagai Direktur Operasional," tutur I Gede.
Pindah ke salah satu perusahaan pelat merah tidak lantas membuat I Gede dapat santai. Menurutnya, Askes selalu di nomor duakan karena pelayanannya yang belum memadai, sehingga menjadi tantangan besar dirinya untuk mengubah citra Askes di mata masyarakat. "saat itu kami di lapangan selalu dihadapkan dengan situasi tidak nyaman," tutur I Gede.
Dia mengungkapkan, keraguan masyarakat untuk mengikuti Askes, juga didasar atas belum adanya kerjasama askes dengan rumah sakit swasta. Oleh karena itu, dia membuat perubahan dengan cara bekerjasama dengan rumah sakit swasta. Hingga kini, askes lebih bekerjasama dengan 250 rumah sakit swasta di seluruh Indonesia.
"Saya yakin kedepan akan sangat banyak sekali membutuhkan rumah sakit swasta dengan perlakuan yang sama terhadap peserta pengguna Askes," tutur I Gede.
I Gede memaparkan, melayani orang sakit memang harus lebih hati-hati karena lebih sulit ketimbang melayani orang-orang yang datang ke bank, maupun ke hotel. Karena, orang sakit memiliki ketidakstabilan mental psikologis antara bisa di sembuhkan atau tidak yang juga selalu terbentur dengan permasalahan biaya. Namun, semua itu terbayarkan, karena masyarakat yang tertolong banyak yang berterimakasih.
Dia menambahkan, PT Askes merupakan perusahaan yang utamanya bukan mencari untung, mengingat tugas pokoknya adalah memberikan pelayanan yang baik kepada pesertanya. "saya akan mengerjakan pekerjaan sebaik mungkin, sesuai amanat dari kitab suci yang saya pegang. karir ini saya jalankan dengan cara yang terbaik," jelas dia.
Hingga kini, Askes telah memproduksi lebih dari 1.600 jenis obat yang telah di negosiasikan dengan pabrikan obat sehingga para peserta Askes bisa membeli obat dengan harga murah. Selain itu, Dia juga mengaku telah mencapai cita-citanya yakni memiliki mobil sedan berwarna putih yang di lihatnya semasa kecil di halaman rumah dokter yang tidak jauh dari rumahnya.
Terima Kasih telah membaca Direktur Askes | Kisah Sukses Anak Petani di blog sederhana dan kesayangan anda semua Berawal Dari Kehidupan Rating